Hukum Perdata
A. Hukum
Perdata Yang Berlaku di Indonesia
Hukum perdata yang berlaku di
Indonesia berdasarkan pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang artinya
aturan Pemerintah Hindia belanda, adalah berlainan untuk golongan warga
Indonesia yaitu :
a) Untuk golongan warga negara
Indonesia asli berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dulu kala secara
turun menurun.
b) Untuk golongan warga Indonesia
keturunan cina berlaku seluruh BW dengan penambahan mengenai pengangkatan anak
dan kongsi (S.1917 No. 129).
c) Untuk golongan warga negara
Indonesia keturunan Arab, India, Pakistan, dan lain-lain berlaku sebagaimana BW
yaitu mengenai hukum harta kekayaan dan hukum waris tanpa wasiat berlaku hukum
adatnya sendiri, yaitu hukum adat mereka yang tumbuh di Indonesia.
d) Untuk golongan warga negara
Indonesia keturunan Eropa (Belanda, Jerman, Perancis), dan Jepang seluruh BW.
Berlaku artinya diterima untuk
dilaksanakan berlakunya hukum perdata untuk dilaksanakan.. adapun dasar
berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang, perjanjian yang
dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah
pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu di imbangi dengan hak.
B. SEJARAH
HUKUM PERDATA
Hukum perdata Belanda berasal dari
hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus
Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut
(hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai
Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang
masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari
Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai
menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut
Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum
menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua
Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut
terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang
baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan
di Belgia yaitu :
• BW [atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
• WvK [atau yang
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW
merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa
Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
C. PENGERTIAN
DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Yang
dimaksud dengan Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara
perorangan di dalam masyarakat.Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas
meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan
dari Hukum Pidana.
Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tetapi oleh Karena perkataan sipiil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum Privat materiil (Hukum Perdata Materiil ).
Untuk hukum privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan perkataan hukum sipil, tetapi oleh Karena perkataan sipiil juga digunakan sebagai lawan dari militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap peraturan hukum Privat materiil (Hukum Perdata Materiil ).
Dan
pengertian dari Hukum Perdata ialah hukum yang memuat segala peraturan yang
mengatur hubungan antara perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari
masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung
hak dan kewajiban seseorang dengan seseuatu pihak secara timbale balik dalam
hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping
hukum privat materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang lebih dikenal
sekarang yaitu dengan HAP ( Hukum Acara Perdata ) atau proses perdata yang
artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya
melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Di dalam pengertian sempit
kadang-kadang Hukum Perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.
Keadaan hukum perdata dewasa ini di
Indonesia.
Mengenai keadaan hukum perdata
dewasa ini di Indonesia dapat kita katakana masih bersifat majemuk yaitu masih
beraneka warna. Penyebab dari keanekaragaman ini ada 2 faktor yaitu :
1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
1. factor ethnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia karena Negara kita Indonesia ini terdiri dari beberapa suku bangsa.
2. factor hostia yuridis yang dapat
kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga
golongan, yaitu :
• golongan eropa dan yang
dipersamakan.
• Golongan bumi putera ( pribumi /
bangsa Indonesia asli ) dan yang dipersamakan.
• Golongan timur asing ( bangsa
cina, India, arab ).
Dan pasal 131.I.S. yaitu mengatur
hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam
pasal 163 I.S. diatas .
Adapun hukum yang diperlakukan bagi
masing-masing golongan yaitu :
• Bagi golongan eropa dan yang
dipersamakan berlaku huku perdata dan hukum dagang barat yang diselenggarakan
dengan hukum perdata dan hukum dagang di negara belanda berdasarkan azas
konkordinasi.
• Bagi golongan bumi putera dan yang
dipersamakan berlaku hukum adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala
berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut
belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
• Bagi golongan timur asing berlaku
hukum masing-masing , dengan catatan bahwa golongan bumi putera dan timur asing
diperbolehkan untuk menundukan diri kepada hukum eropa barat baik secara
keseluruhan maupun untuk macam tindakan hukum tertentu saja.
Peraturan – peraturan yang secara
khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti :
• Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia Kristen (
staatsblad 1933 bno 7.4 ).
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.
• Organisasi tentang maskapai andil Indonesia ( IMA ) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan dengan no 717.
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi
semua golongan warga Negara , yaitu :
• Undang-undang hak pengarang ( auteurswet tahun 1912
).
• Peraturan umum tentang koperasi ( saatsblad 1933 no
108 ).
• Ordonansi woeker ( saatsblad 1938 no 523 ).
• Ordonansi tentang pengangkutan di udara ( staatsblad
1938 no 98 ).
D. SISTEMATIKA
HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Menurut ilmu pengetahuan hukum,
hukum perdata terbagi ke dalam 4 kelompok yaitu:
Hukum perorangan (Personenrecht)
Beberapa ahli hukum menyebutnya
dengan istilah hukum pribadi. Hukum perorangan adalah semua kaidah hukum yang
mengatur mengenai siapa saja yang dapat membawa hak dan kedudukannya dalam
hukum. Hukum perorangan terdiri dari:
·
Peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek
hukum, kewenangan hukum, domestik dan catatan sipil.
·
Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
·
Hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
tersebut.
Hukum Keluarga (Familierecht)
Merupakan semua kaidah hukum yang
mengatur hubungan abadi antara dua orang yang berlainan jenis kelamin dan
akibatnya hukum keluarga sendiri dari:
·
Perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan
antara suami/istri.
·
Hubungan antara orang tua dan anak-anaknya.
·
Perwalian.
·
Pengampuan.
Hukum harta kekayaan
(Vermogensrecht)
Hukum harta kekayaan adalah semua
kaidah hukum yang mengatur hak-hak yang didapatkan pada orang dalam hubungannya
dengan orang lain yang mempunyai uang. Hukum harta kekayaan terdiri dar:
·
Hak mutlak, adalah hak-hak yang berlaku pada semua
orang.
·
Hak perorangan, adalah hak-hak yang hanya berlaku pada
pihak tertentu.
Hukum
Waris
Hukum waris merupakan hukum yang
mengatur mengenai benda dan kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia.
Meskipun demikian, Burgerlijk
wetboek atau kitab undang-undanag hukum perdata yang merupakan sumber hukum perdata
utama di Indonesia memiliki sistematik yang berbeda. Burgerlijk wetboek terdiri
dari 4 buku, yaitu:
1.
Buku I, tentang Orang(van persoonen); mengatur
tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status
serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan
mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan,
perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk
bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak
berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
2.
Buku II, tentang Kebendaan(van zaken); mengatur
tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki
subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris
dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang
tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii)
benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap
sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya
hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan
dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
tentang hak tanggungan.
3.
Buku III, tentang Perikatan(van verbintennisen); mengatur
tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah
ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur
tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain
tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari
(ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian),
syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang
perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai
acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa
dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
4.
Buku IV, tentang Daluarsa dan Pembuktian(van bewijs en
verjaring);mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya
batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata
dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Hukum Perikatan
A. Pengertian Perikatan
Hukum perikatan adalah adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata,
pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian
mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan
hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk
berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan
untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal,
tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telah disepakati dalam perjanjian. Contohnya; sebuah perjanjian agar memotong
rambut tidak sampai botak.
B. Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2.
Perikatan yang timbul dari undang-undang
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar
hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
1.
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2.
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang
lain atau lebih.
3.
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang.
asas hukum perikatan
asas hukum perikatan
Asas-asas
dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
2.Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
3.Asas
Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
Pengecualian
: 1792 KUHPerdata 1317 KUHPerdata
Perluasannya
yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
Asas
kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
D. Hapusnya Perikatan
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
1.Pembaharuan
utang (inovatie)
Novasi
adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada
saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti
perikatan semula.
2.Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata).
3.Pembebasan
Utang
pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
4.Musnahnya
barang yang terutang
5.Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan.
6.Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau
waktu, yaitu :
1.lampau
waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang
2.lampau
waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan
Hukum Perjanjian
A. STANDAR
KONTRAK
Standar
adalah perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis
berupa formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk
ditawarkan kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para
konsumen (Johannes Gunawan)
Perjanjian
baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun
yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu
secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak
lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi
penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal
yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar
kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1.
Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah
disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Berdasar ketentuan hukum yang
berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam
pasal tersebut, yaitu :
1. Adanya kesepakatan para pihak
untuk mengikatkan diri. Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi
yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi
ataupun penipuan.
2. Kecakapan para pihak untuk
membuat perjanjian. Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa
para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan
KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak
gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan
orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian
tertentu.
3. Ada suatu hal tertentu. Bahwa
obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para
pihak.
4. Adanya suatu sebab yang halal. Suatu
sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :
• tidak bertentangan dengan ketertiban umum
• tidak bertentangan dengan kesusilaan
• tidak bertentangan dengan undang-undang
• tidak bertentangan dengan kesusilaan
• tidak bertentangan dengan undang-undang
B. Macam
– Macam Perjanjian
1. Perjanjian
Jual-beli
2. Perjanjian Tukar
Menukar
3. Perjanjian
Sewa-Menyewa
4. Perjanjian
Persekutuan
5. Perjanjian
Perkumpulan
6. Perjanjian Hibah
7. Perjanjian
Penitipan Barang
8. Perjanjian
Pinjam-Pakai
9. Perjanjian
Pinjam Meminjam
10. Perjanjian Untung-Untungan
C. Syarat
Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang
diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada
pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang
untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3. Suatu hal tertentu Suatu hal
tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan untuk dapat
menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling
sedikit ditetapkan jenisnya.
4. Sebab yang halal Sebab ialah
tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut
Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang
Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai
kekuatan atau batal demi hukum.
Syarat Lahirnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat
(1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa
perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak
pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan
pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak
dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa
digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings
Theorie)
b. Teori Pengiriman (Verzending
Theori).
c. Teori Pengetahuan
(Vernemingstheorie).
d. Teori penerimaan
(Ontvangtheorie).
D. Pembatalan
dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalan Perjanjian Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak
biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan
pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau
tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya
kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah
pengadilan
4. Terlibat hokum
5. Tidak lagi memiliki lisensi,
kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
E. Prestasi
dan Waprestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Menurut ketentuan pasal 1234
KUHPdt ada tiga kemungkinan wujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b)
berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu.Pengertian memberikan sesuatu adalah
menyerahkan suatu kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada
kreditur, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, hibah.
Dalam perikatan yang objeknya
“berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah
ditetapkan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan berupa membangun
gedung. Kemudian dalam perikatan yang objeknya “tidak berbuat sesuatu”, debitur
tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya
debitur tidak boleh melakukan aktivitas berjualan selama perikatan berlangsung,
jika perbuatan debitur berlawanan maka ia bertanggung jawab karena telah
melanggar ketetapan.
Prestasi adalah objek perikatan.
Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu
diketahui sifat-sifatnya sebagaimana tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata
ayat (3), yaitu:
~ Barang
atau perbuatannya harus sudah ditentukan
~ Harus
mungkin, artinya prestasi itu mungkin dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan
segala usahanya
~ Harus
diperbolehkan (halal), artinya tidak bertentangan dengan agama dan undang-undang
~ Harus ada manfaat
bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan dan memanfaatkannya.
2. Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak
terpenuhinya suatu kewajiban oleh debitur seperti yang telah ditetapkan dalam
perikatan. Tidak terpenuhinya kewajiban disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu:
a) Kesalahan
debitur, baik dengan sengaja maupun karena kelalaian. Menurut ketentuan pasal
1238 KUHPdt debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah
ditetapkan dalam perikatan. Jika debitur lalai dalam melaksanakan
kewajibannya, maka cara untuk memperingatkan debitur supaya memenuhi
prestasinya yaitu, debitur perlu diberi peringatan tertulis yang isinya
menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi.
Peringatan tertulis dapat dilakukan
secara resmi dan tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan
melalui Pengadilan yang berwenang, yang disebut sommatie.
Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui surat tercatat, surat
peringatan ini disebut ingebreke stelling.
b) Keadaan
memaksa (overmacht/force majeure), artinya diluar kemampuan debitur.
Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
* Terjadi
peristiwa yang membinasakan/memusnahkan benda objek perikatan
* Terjadi
peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi
* Peristiwa
itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan
Dalam hal keadaan memaksa yang
memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan memaksa ini disebut “keadaan memaksa
objektif”. Dasarnya adalah ketidakmungkinan memenuhi prestasi, karena bendanya
lenyap atau musnah. Misalnya seorang pelukis tidak bisa menyerahkan lukisan
yang telah dipesan kepada si pemesan karena tiba-tiba ada musibah berupa
kebakaran, sehingga melenyapkan seluruh lukisannya. Dengan peristiwa ini, maka
perikatan diyatakan “batal”.
Dalam hal keadaan memaksa yang
memenuhi unsur dua dan tiga, keadaan memaksa ini disebut keadaan memaksa yang
subjektif. Dasarnya ialah debitur kesulitan memenuhi prestasi karena ada
peristiwa yang menghalanginya. Misalnya seseorang membeli barang dari seorang
pedagang yang disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Namun kapal
yang mengangkut barang itu membentur karang sehingga harus masuk dok untuk
perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi. jika prestasi
itu sudah tidak berarti lagi bagi debitur karena lamanya waktu pengiriman, maka
perikatan “gugur”.
Perbedaan antara perikatan “batal”
dan “gugur” teretak pada ada dan tidaknya objek perikatan dan kemungkinan
pemenuhan objek. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah,
sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur. Sedangkan pada perikatan “gugur”,
objek perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam usaha.
Sumber :